Refleksi 48 Tahun Milad GAM, Juru Bicara DPW Muda Seudang Bireuen : Pemerintah Pusat Harus Lebih Serius Dalam Menjalankan Turunan Butir - butir MoU Helsinki

Adsense

Peunawa

Iklan Berjalan

Iklan Slide

Refleksi 48 Tahun Milad GAM, Juru Bicara DPW Muda Seudang Bireuen : Pemerintah Pusat Harus Lebih Serius Dalam Menjalankan Turunan Butir - butir MoU Helsinki

IsMed
12/03/2024

Oleh : Muhammad Irfansyah Putra


Juru Bicara Dewan Pimpinan Wilayah Muda Seudang Bireuen juga merupakan mahasiswa semester akhir Program Studi Ilmu Kelautan  di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.



 

Peunawa.com - Perjalanan panjang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama 48 tahun telah menorehkan sejarah yang begitu dalam bagi bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Aceh. Konflik bersenjata yang berkepanjangan ini menjadi salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia modern. Lahir dari rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat, GAM berjuang untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Aceh.

 

Pada tahun 1976 merupakan awal mula pergerakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan sebutan sebelumnya adalah AM (Aceh Merdeka). Di setiap tanggal 4 Desember, Milad GAM senantiasa dirayakan dan bentuk perayaan berdasarkan masanya. Kala konflik tentunya berbeda perayaannya seperti disaat damai yang indah saat ini berjalan. Isu pengibaran bendera Bintang Bulan pun acap kontroversial, kecaman dan dan pelarangan sempat menuai aksi di setiap momennya.

 

Gerakan ini di deklarasikan oleh tokoh pejuang Aceh Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro, M.S., M.A.,LL.D., Ph.D atau lebih di kenal dengan panggilan Hasan Tiro. Hasan di Tiro sering dianggap sebagai sosok sentral dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Beliau adalah seorang intelektual Aceh yang memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran politik Aceh.

 

Konflik yang berlangsung selama hampir tiga dekade ini telah menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan material yang sangat besar. Aceh menjadi medan perang yang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Kehidupan masyarakat terganggu, perekonomian lumpuh, dan trauma mendalam menyelimuti seluruh lapisan masyarakat. Konflik ini juga memicu perdebatan sengit di tingkat nasional mengenai bentuk negara kesatuan dan hak-hak daerah.

 

Puncak dari konflik ini adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada tahun 2005. Kesepakatan damai ini menjadi tonggak sejarah bagi Aceh dan Indonesia. Melalui MoU Helsinki, konflik bersenjata dapat dihentikan dan Aceh diberikan otonomi khusus yang luas. Aceh memiliki kesempatan untuk membangun kembali daerahnya dan mengejar ketertinggalan.

 

MoU Helsinki merupakan hasil dari proses perundingan yang panjang dan melelahkan. Perjanjian ini memuat sejumlah poin penting diantaranya ialah otonomi khusus untuk Aceh,  pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pemulangan pengungsi, Pembebasan tahanan politik, serta kesepakatan lainnya.

 

Meskipun MoU Helsinki telah ditandatangani, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan . Proses birokrasi yang panjang dan rumit seringkali menghambat pelaksanaan program-program pembangunan di Aceh. Pemerintah Aceh masih menghadapi keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun sumber daya manusia. Ketidakpercayaan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh masih menjadi kendala dalam pelaksanaan otonomi khusus.

 

Pemerintah pusat dan pemerintah  Aceh harus berkomitmen untuk melaksanakan MoU Helsinki secara konsisten dan menyeluruh. Masyarakat Aceh harus dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan daerah. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Aceh melalui pendidikan dan pelatihan. Masalah hukum yang terkait dengan konflik Aceh perlu diselesaikan secara adil dan transparan.

 

Namun, perjalanan menuju perdamaian tidaklah mudah. Proses rekonsiliasi dan pemulihan membutuhkan waktu yang panjang dan upaya yang terus-menerus. Tantangan masih banyak dihadapi, seperti persoalan ekonomi, sosial, dan politik. Perbedaan kepentingan antara kelompok-kelompok masyarakat, serta adanya pihak-pihak yang ingin kembali ke masa lalu, menjadi ancaman bagi stabilitas Aceh.

 

Meskipun demikian, Aceh telah menunjukkan kemajuan yang signifikan pasca-konflik. Pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi menjadi bukti nyata dari upaya pemulihan Aceh. Masyarakat Aceh juga semakin aktif dalam berpartisipasi dalam proses pembangunan daerah. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mencapai Aceh yang damai, sejahtera, dan berkeadilan.

 

Dalam rangka memperingati 48 tahun keberadaan GAM, kita perlu melakukan refleksi mendalam terhadap perjalanan panjang konflik Aceh. Konflik ini mengajarkan kita banyak hal tentang pentingnya dialog, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan. Kita juga perlu belajar dari kesalahan masa lalu agar tidak terulang kembali. Semoga Aceh dapat terus membangun masa depan yang lebih cerah dan menjadi contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan. (*)