Oleh : Muhammad
Irfansyah Putra
Juru Bicara Dewan Pimpinan Wilayah Muda Seudang Bireuen juga merupakan mahasiswa semester akhir Program Studi Ilmu Kelautan di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Peunawa.com - Perjalanan panjang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama 48
tahun telah menorehkan sejarah yang begitu dalam bagi bangsa Indonesia,
khususnya masyarakat Aceh. Konflik bersenjata yang berkepanjangan ini menjadi
salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia modern. Lahir dari rasa
ketidakadilan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat, GAM
berjuang untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Aceh.
Pada tahun 1976 merupakan awal mula pergerakan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dengan sebutan sebelumnya adalah AM (Aceh Merdeka). Di setiap
tanggal 4 Desember, Milad GAM senantiasa dirayakan dan bentuk perayaan
berdasarkan masanya. Kala konflik tentunya berbeda perayaannya seperti disaat
damai yang indah saat ini berjalan. Isu pengibaran bendera Bintang Bulan pun
acap kontroversial, kecaman dan dan pelarangan sempat menuai aksi di setiap
momennya.
Gerakan ini di deklarasikan oleh tokoh pejuang Aceh Dr.
Teungku Hasan Muhammad di Tiro, M.S., M.A.,LL.D., Ph.D atau lebih di kenal
dengan panggilan Hasan Tiro. Hasan di Tiro sering dianggap sebagai sosok
sentral dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Beliau adalah seorang intelektual
Aceh yang memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran politik Aceh.
Konflik yang berlangsung selama hampir tiga dekade ini telah
menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan material yang sangat besar. Aceh
menjadi medan perang yang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Kehidupan
masyarakat terganggu, perekonomian lumpuh, dan trauma mendalam menyelimuti
seluruh lapisan masyarakat. Konflik ini juga memicu perdebatan sengit di
tingkat nasional mengenai bentuk negara kesatuan dan hak-hak daerah.
Puncak dari konflik ini adalah penandatanganan Memorandum of
Understanding (MoU) Helsinki pada tahun 2005. Kesepakatan damai ini menjadi
tonggak sejarah bagi Aceh dan Indonesia. Melalui MoU Helsinki, konflik
bersenjata dapat dihentikan dan Aceh diberikan otonomi khusus yang luas. Aceh
memiliki kesempatan untuk membangun kembali daerahnya dan mengejar
ketertinggalan.
MoU Helsinki merupakan hasil dari proses perundingan yang
panjang dan melelahkan. Perjanjian ini memuat sejumlah poin penting diantaranya
ialah otonomi khusus untuk Aceh,
pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pemulangan pengungsi,
Pembebasan tahanan politik, serta kesepakatan lainnya.
Meskipun MoU Helsinki telah ditandatangani, implementasinya
masih menghadapi berbagai tantangan . Proses birokrasi yang panjang dan rumit
seringkali menghambat pelaksanaan program-program pembangunan di Aceh.
Pemerintah Aceh masih menghadapi keterbatasan sumber daya, baik finansial
maupun sumber daya manusia. Ketidakpercayaan antara pemerintah pusat dan
pemerintah Aceh masih menjadi kendala dalam pelaksanaan otonomi khusus.
Pemerintah pusat dan pemerintah Aceh harus berkomitmen untuk melaksanakan MoU
Helsinki secara konsisten dan menyeluruh. Masyarakat Aceh harus dilibatkan
secara aktif dalam proses pembangunan daerah. Pemerintah perlu meningkatkan
kualitas sumber daya manusia di Aceh melalui pendidikan dan pelatihan. Masalah
hukum yang terkait dengan konflik Aceh perlu diselesaikan secara adil dan
transparan.
Namun, perjalanan menuju perdamaian tidaklah mudah. Proses
rekonsiliasi dan pemulihan membutuhkan waktu yang panjang dan upaya yang
terus-menerus. Tantangan masih banyak dihadapi, seperti persoalan ekonomi,
sosial, dan politik. Perbedaan kepentingan antara kelompok-kelompok masyarakat,
serta adanya pihak-pihak yang ingin kembali ke masa lalu, menjadi ancaman bagi
stabilitas Aceh.
Meskipun demikian, Aceh telah menunjukkan kemajuan yang
signifikan pasca-konflik. Pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas
pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi menjadi bukti nyata dari upaya pemulihan
Aceh. Masyarakat Aceh juga semakin aktif dalam berpartisipasi dalam proses
pembangunan daerah. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan
untuk mencapai Aceh yang damai, sejahtera, dan berkeadilan.
Dalam rangka memperingati 48 tahun keberadaan GAM, kita
perlu melakukan refleksi mendalam terhadap perjalanan panjang konflik Aceh.
Konflik ini mengajarkan kita banyak hal tentang pentingnya dialog, toleransi,
dan penghargaan terhadap perbedaan. Kita juga perlu belajar dari kesalahan masa
lalu agar tidak terulang kembali. Semoga Aceh dapat terus membangun masa depan
yang lebih cerah dan menjadi contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam
mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan. (*)