Transformasi Distribusi BBM di Indonesia: Dari Premium ke Beragam Pilihan Energi sampai akhirnya Rakyat Tertipu?

Adsense

Peunawa

Iklan Berjalan

Iklan Slide

Transformasi Distribusi BBM di Indonesia: Dari Premium ke Beragam Pilihan Energi sampai akhirnya Rakyat Tertipu?

IsMed
2/27/2025

Ilustrasi

Dari Premium dan Solar hingga ke Beragam Pilihan Energi

Oleh : Ismadinur


Perubahan Besar dalam Distribusi BBM Indonesia


Sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sektor energi Indonesia mengalami perubahan signifikan, terutama dalam distribusi bahan bakar minyak (BBM). Jika sebelumnya masyarakat hanya mengenal Premium dan Solar, kini hadir berbagai varian BBM seperti Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Bio Solar, dan Dexlite. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan pilihan yang lebih ramah lingkungan serta meningkatkan efisiensi energi.

Perubahan kebijakan BBM dimulai pada Desember 2014 ketika Tim Reformasi Tata Kelola Migas merekomendasikan penghapusan Premium (RON 88) dan transisi ke Pertamax (RON 92). Rekomendasi ini diberikan kepada PT Pertamina dengan batas waktu lima bulan untuk beradaptasi. Langkah ini diambil karena Pertamax memiliki kualitas yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih sedikit mencemari lingkungan.

Pada Juli 2015, sebagai solusi peralihan, Pertamina meluncurkan Pertalite (RON 90) sebagai BBM alternatif antara Premium dan Pertamax. Langkah ini dipimpin oleh Direktur Utama Pertamina saat itu, Dwi Soetjipto. Dengan harga lebih terjangkau dibandingkan Pertamax namun kualitas lebih baik dari Premium, Pertalite menjadi opsi yang banyak diminati masyarakat.


Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan varian lain seperti Pertamax Turbo, Bio Solar, dan Dexlite. BBM ini ditujukan bagi kendaraan dengan spesifikasi mesin tertentu sekaligus mendukung kebijakan penggunaan biofuel untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Perubahan dalam distribusi BBM ini tidak terjadi begitu saja. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Pertamina, serta Tim Reformasi Tata Kelola Migas berperan dalam perumusan kebijakan untuk Persetujuan dan Implementasi Kebijakan .

Pada 2014, peralihan dari Premium ke Pertamax direkomendasikan, kemudian diikuti peluncuran Pertalite pada 2015 sebagai alternatif transisi. Kebijakan ini sejalan dengan strategi pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM yang selama ini membebani anggaran negara, sekaligus mendorong masyarakat beralih ke bahan bakar yang lebih berkualitas dan ramah lingkungan.

Meskipun perubahan ini memiliki tujuan positif, upaya penghapusan Premium tidak berjalan mulus. Pada tahun 2022, rencana tersebut sempat tertunda. Pemerintah bahkan memutuskan tetap memasarkan Premium di seluruh Indonesia sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2021.

Respons masyarakat terhadap perubahan ini terjadi pro dan kontra. Sebagian besar mendukung penggunaan BBM beroktan lebih tinggi karena lebih hemat dan baik bagi lingkungan. Namun, ada juga yang mengkritik kebijakan ini karena berpotensi menaikkan harga BBM, yang akhirnya berdampak pada ekonomi rumah tangga, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
 

Pertumbuhan Pertashop dan Skandal Pengoplosan BBM


Di tengah upaya diversifikasi BBM, Pertamina juga mengembangkan jaringan Pertashop. Program ini dimulai pada tahun 2020 dengan target pembangunan 7.196 unit Pertashop di berbagai desa. Tujuan utama program ini adalah memastikan masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil mendapatkan akses BBM berkualitas dengan harga yang terjangkau.

Pertashop berfungsi sebagai SPBU mini yang menjual BBM resmi dari Pertamina, seperti Pertamax, LPG non-subsidi, dan pelumas. Kehadiran Pertashop diharapkan dapat meningkatkan perekonomian lokal dengan memberikan akses energi yang lebih mudah dan mendukung sektor usaha kecil di daerah.

Namun, di balik ekspansi Pertashop, muncul skandal yang mencoreng nama Pertamina. Pada Februari 2025, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan kasus korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023. Modus utama yang dilakukan adalah pengoplosan Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92), tetapi dijual dengan harga Pertamax, sehingga menyebabkan kerugian negara yang sangat besar.

Dalam kasus ini, tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk beberapa petinggi PT Pertamina Patra Niaga dan PT Kilang Pertamina Internasional. Praktik ilegal ini disebut telah merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.

Namun PT Pertamina sendiri membantah keterlibatan perusahaan dalam praktik pengoplosan ini. Mereka memastikan bahwa seluruh produk BBM yang dijual di SPBU resmi telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dampak dan Tuntutan Masyarakat

Skandal ini menuai kecaman luas. Masyarakat merasa dirugikan karena harus membayar lebih untuk BBM yang ternyata kualitasnya tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan. Banyak yang menuntut agar para pelaku dihukum seberat-beratnya karena dianggap telah mencoreng nama Pertamina serta merugikan negara dan masyarakat.

Para pengamat energi juga menyoroti lemahnya pengawasan dalam distribusi BBM. Mereka menilai bahwa kejadian ini menunjukkan adanya celah dalam sistem yang memungkinkan korupsi terjadi dalam skala besar. Oleh karena itu, penguatan pengawasan serta penegakan hukum yang lebih tegas menjadi hal yang sangat mendesak.
 
Transformasi distribusi BBM di era pemerintahan Presiden Joko Widodo membawa banyak perubahan, baik dalam keberagaman jenis BBM maupun dalam ekspansi jaringan distribusi seperti Pertashop. Namun, di sisi lain, masih ada tantangan besar bagi pemerintahan sekarang Prabowo Subianto untuk mentuntaskan semua ini, termasuk skandal pengoplosan BBM yang melibatkan oknum internal Pertamina.

Ke depan, pemerintah dan Pertamina perlu memastikan bahwa kebijakan energi benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat. Transparansi, pengawasan ketat, serta tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sektor energi nasional.